Senin, 01 Agustus 2011

Sejarah ASWAJA

Aswaja adalah postulat dari ungkapan Rasulullah saw.,“Ma> ana ‘alaihi wa
as}h}a>bi”. Berarti, golongan aswaja adalah golongan yang mengikuti ajaran Islam
sebagaimana diajarkan dan diamalkan Rasulullah beserta sahabatnya.
Aswaja (Ahlussunah wa al-jama>’ah) adalah satu di antara banyak aliran
dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya
aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua
sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam
perkembangan pemikiran keIslaman.
Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang
mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup
populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca
Nabi wafat .
Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi.
Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik
semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali, pengganti Utsman untuk
bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan
darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.
Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr
bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut
Ali. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang
kesemuanya dimenangkan pihak Ali.
Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang
Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di
atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah
terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum
Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.
Akhirnya, tah}kim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut
Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung
Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi
antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa
pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.
Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam
ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks
untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh
publik, terlebih masa Yazid bin Muawiyah.Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia
memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya
di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan
diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.
Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam.
Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala
dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya
paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya
kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan,
tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian
itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.
Beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second
opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah.
Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah
menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan
segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak.
Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya
harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.
Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan
umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak
mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari
perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada
Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.
Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa.
Terlebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya,
pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi
sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah
Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah
sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.
Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal
bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan
hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok
tersendiri.
Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat Islam,
akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam
untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits-dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan
satu oleh Imam Tabrani-. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan
terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam
73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma> ana ‘Alaihi wa As}h}a>bi>," jawab Rasul.
Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa
golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama>’ah.
Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata
aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila
sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani
mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi kendati banyak
terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu
bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan
peramal.


0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "